Yep, sekarang gue sedang menjalani magang di sebuah rumah sakit tentara di Jakarta. Sepulang dari Bima, gue memutuskan untuk segera melanjutkan pendidikan gue menjadi spesialis. Bedah plastik emang selalu jadi impian gue sejak gue masih koas. And lucky me, gue dapat kesempatan untuk magang dengan seorang ahli bedah plastik yang adalah ketua perhimpunan ahli bedah plastik di Indonesia.
Panjang sekali ceritanya gimana gue bisa terlibat dalam kegiatan akreditasi rumah sakit. Intinya, karena ketiadaan sumber daya manusia yang mumpuni untuk merampungkan proses akreditasi ini. Di tengah kepanikan rumah sakit inilah akhirnya gue diberdayakan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh para dokter yang memang sangat sibuk ini.
Pekerjaan administratif seperti membuat SPO dan pedoman-pedoman tindakan medis menurut gue sangat membosankan, tapi apa daya, gue segan dan setengah kasihan melihat pak bos yang setiap hari kewalahan mengerjakan pekerjaannya. Jadwalnya sehari-hari selalu penuh dengan kegiatan rapat, operasi, praktik pribadi, dan banyak lagi. Agak ngeri memang membayangkan diri gue akan menjadi seperti dia dalam 20 tahun ke depan, tapi gue menikmati sekali berada di tengah keriweuhan dan dikejar-kejar deadline.
Daaan akhirnya waktu yang dinanti-nantikan akan segera tiba. Dua minggu lagi rumah sakit tempat gue bekerja akan kedatangan tim surveyor yang akan menilai rumah sakit itu layak untuk menerima akreditasi atau tidak. Tegang iya, panik iya, semangat apalagi. Akhirnya gue akan segera terbebas dari SPO dan pedoman-pedoman!
Tapi ternyata justru menjelang hari H, masalah-masalah kecil bermunculan. Semua dokter di rumah sakit mulai panik dan menyelesaikan masalah masing-masing. Begitu pun dengan bos gue, si dokter panikan sedunia, yang sudah pasti heboh membenahi kekurangan dari hasil pekerjaannya. Gue pun ikutan lembur untuk merapikan dan menerjemahkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk akreditasi.
Di tengah kelelahan lembur itulah, datang BBM manis dari ibu gue. How do I feel? Gue sama sekali nggak marah atau kecewa dengan keluarga gue yang pergi berlibur. Justru gue sedih karena gue nggak bisa meluangkan waktu gue untuk orang-orang terdekat gue. Even sebelum berangkat ke Bogor, ibu gue tetap nanya: "Nggak bisa izin sehari aja, Sayang?" Hati gue langsung ciut.
Gue bertanya pada diri gue sendiri. Apakah waktu bersama keluarga yang telah gue korbankan ini cukup setimpal dengan apa yang akan gue dapatkan nanti? Apakah gue akan punya kesempatan lain untuk menghabiskan waktu dengan mereka?
Gue pikir ini adalah problematika terbesar bagi orang-orang seumuran gue. We've been there, right? Kadang gue terlalu sibuk mengejar karier tanpa menyadari bahwa bapak gue udah lama sekali nggak kontrol diabetesnya, atau gue terlalu asyik dengan tugas gue dan lupa kalo udah hampir 3 bulan gue nggak menjalankan ritual nonton berdua ibu gue.
Gue nggak bermaksud mengadili siapa pun lewat tulisan ini. Ini murni adalah teguran buat diri gue sendiri. Hidup selalu menuntut kita untuk memilih. Ada orang yang mengejar uang dan karier dengan alasan agar dia dapat membahagiakan keluarganya kelak. Ada juga orang yang mengutamakan keluarganya karena dia takut tidak punya kesempatan yang sama untuk bisa menghabiskan waktu dengan keluarganya. Tidak ada pilihan yang benar atau salah, semuanya tergantung dari diri kita masing-masing.
What about me? I have to go back to my work now, but I already had a plan to cook dinner for my family as soon as they get back from Bogor.
Choose well, people! :)