Wednesday, July 31, 2013

Bulan Ketujuh: Momen Epik si Ibu Bidan

Suatu pagi yang cerah di PKM Madapangga.
Nia (N): "Bu, ibu menderita tekanan darah tinggi ya. Sebaiknya ibu mengurangi makan makanan asin, olah raga teratur, bla bla bla... "
Pasien (P): "Iyo" (angguk-angguk)
N: "Apa ibu sudah mengerti?"
P: (angguk-angguk dengan muka blank)
N: (curiga) "Kalau begitu silakan ambil obatnya di apotik, Bu."
P: (angguk-angguk tanpa tanda-tanda mau bergerak ke apotik)
N: "Bu, loa bahasa Indonesia?" ("Bu, bisa bahasa Indonesia?")
P: "Wati loa ni anaeee!" ("Tidak bisa nih, nakkk!")
N: (facepalm) "Lao ka apotik ta Ibu, ambil ja obat." ("Pergi ke apotik ya, Bu, ambil obatnya.")
P: (muka berbinar tanda mengerti) "Oo, iyo ta. Terima kasih Bu Bidan!"
N: "..."

***

Di hari  yang lain, seorang ibu datang membawa anaknya yang sudah 2 hari batuk dan demam.
N: "Aku periksa dulu ya anaknya, Bu."
Ibu pasien (IP): "Iya, Bu."
N: "Adek, buka mulutnya, yuk. Bilang 'Aaa..."
P: (tidak membuka mulut)
N: "Ayo buka mulutnya sebentar yuk, sayang."
P: (membekap kedua tangan di mulut)
IP: "AYO DONG BANG BUKA MULUTNYA, IBU BIDAN MAU PERIKSA!"

***

Beberapa minggu setelahnya, seorang ibu datang memeriksakan diri ke balai pengobatan. Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis, saya menyimpulkan ibu tersebut menderita vertigo. Saya memberi penjelasan bahwa ibu tersebut dapat dirawat di rumah, namun nampaknya dia tidak percaya dan  ingin diopname. Dia yakin dia mengalami pusing karena tekanan darah rendah dan harus diinfus. Dia pun menggerutu dalam bahasa Bima sambil berjalan keluar dari balai pengobatan.

Ternyata ibu tersebut tidak putus akal agar dirinya tetap diopname. Dia pun pergi ke IGD. Di sana dia bertemu dengan salah seorang teman sejawat saya. Dia mengatakan bahwa dia baru berobat dari balai pengobatan dan mendapat instruksi untuk segera diopname. Tak lama teman sejawat itu memanggil saya sambil tertawa geli, "NIA, PASIEN LO NIH KATANYA DISURUH DIOPNAME SAMA IBU BIDAN!"

***

Sebetulnya masih banyak momen-momen epik ketika saya dan semua sejawat saya yang berjenis kelamin perempuan mendapat panggilan "Ibu Bidan" dari masyarakat setempat. Setelah dipikir-pikir, wajar saja mereka menganggap kami bidan, karena selama belasan tahun terakhir, hanya ada satu dokter (yang kebetulan laki-laki) yang melayani masyarakat kecamatan Madapangga ini. Sepertinya sosok pria setengah baya dengan julukan "Pak Dokter" sudah terlalu melekat di benak mereka sehingga memanggil perempuan-perempuan usia 20-an seperti kami dengan julukan "Bu Dokter" nampak sangat tidak lazim.

Kali pertama dipanggil Ibu Bidan, saya masih berusaha menjelaskan bahwa saya adalah dokter, begitu pula dengan kali kedua dan ketiga. Mencapai kali kelima, keenam, dan ketujuh, saya mulai pasrah. Dalam benak saya, "Tak apalah masyarakat Madapangga mengingat saya sebagai Ibu Bidan, yang penting mereka mengingat saya sebagai seorang Ibu Bidan yang baik, sama seperti mereka mengingat Pak Dokter yang baik dan setia melayani mereka selama belasan tahun."

No comments:

Post a Comment