Tanpa terasa, anak sulung saya sudah memasuki jenjang sekolah dasar. Hampir 2 bulan yang lalu saya hadir di sekolah baru si Abang untuk pertemuan guru dengan orang tua murid. Ketika itu, seorang Suster memimpin doa pembuka (sekolah anak saya adalah sekolah Katolik). Salah satu kalimat dalam doa beliau kurang lebih seperti ini: "Ampuni kami Tuhan, apabila kami menuntut hal-hal yang belum bisa dilakukan oleh anak-anak kami..."
For me, those words are STRONG. Beberapa minggu ini, kalimat dalam doa tersebut selalu terngiang di otak saya. Memasuki jenjang sekolah dasar, saya merasakan betul bahwa pelajaran yang akan dihadapi oleh si Abang akan semakin berat dengan tingkat kerumitan dan jumlah mata pelajaran yang meningkat. Belum lagi, pandemi juga masih berlanjut sehingga pembelajaran jarak jauh bisa saja dijalankan kembali apabila memang jumlah kasus meningkat lagi. Situasi itu membuat saya menjadi anxious. "Apakah anak saya akan bisa menjalaninya?"
Maka mulailah saya mencari-cari tempat les, mengatur sesi belajar di malam hari, karena hanya di malam hari saya bisa mendampingi si Abang belajar. Kadang belajar bersamanya terasa menyenangkan karena kami bisa menikmati waktu berkualitas bersama, tapi di waktu lain belajar bersama terasa sangat berat hingga saya tidak kuasa menahan emosi dan nada tinggi. Kadang ketika nada bicara saya sudah mulai meninggi ketika mengajar, air mata mulai menggenang di kedua mata anak saya. Di titik itulah saya tersadar.
Apa yang sedang saya lakukan?
Apakah saya sudah membuatnya trauma?
Apakah saya memaksakan standar diri saya ke anak kami?
Saya pun terpukul ketika mengingat tatapan si Abang ke saya, ketika saya merasa gemas karena dia belum memahami materi yang saya ajarkan atau ketika tulisan tangannya tidak rapi. Tatapan dengan rasa bersalah. Rasa bersalah yang seharusnya tidak ada. Rasa bersalah yang saya ciptakan dalam dirinya, ketika dia tidak memenuhi ekspektasi saya dalam hal akademis. Padahal kami pun bukan orang tua yang sempurna. Saya dan suami sama-sama bekerja, tidak jarang pulang malam dan tidak jarang keluar kota bahkan keluar negri berbulan-bulan. Tap tak pernah ia bernada tinggi pada kami, tak pernah ia merasa gemas karena orang tuanya tidak ada di sana ketika ia membutuhkan kami.
"Ampuni kami Tuhan, apabila kami menuntut hal-hal yang belum bisa dilakukan oleh anak-anak kami..."
Doa Suster yang saya dengar beberapa waktu lalu, pun akhirnya menjadi bagian dalam doa saya sehari-hari. Anak saya bukan robot ataupun mobil-mobilan yang dapat dikendalikan untuk dapat beradu dengan anak lain. Dia memiliki perasaan, minat, dan juga cara berpikirnya sendiri. Saya sebagai orang tua tidak hanya bertanggung jawab terhadap nilai akademisnya, namun juga memelihara keimanannya dan kesehatan mentalnya.
Saat ini pun saya masih belajar merubah pola pikir saya. Anak kami bukanlah versi kecil dari kami. Ia mempunyai perjalanan hidupnya sendiri. Saya hanya bertugas mendampingi dan mengasihinya sehingga ia menjadi versi terbaik dari dirinya, bukan berdasarkan standar saya. Les dan belajar bersama bukanlah hal yang salah untuk dilakukan, namun harusnya hal tersebut saya lakukan tanpa emosi dan paksaan.
Bagi orang tua yang sudah memiliki pemahaman ini, saya turut berbahagia. You guys are in the right way. Bagi orang tua yang memiliki kegalauan yang sama, mari kita sama-sama belajar dan berdoa. Berusaha sebaik-baiknya untuk mendampingi anak kita seutuhnya. Semoga Tuhan memberkati anak-anak kita.