Thursday, June 19, 2014

Lunch Time Pondering

Rabu sore kemarin, ibu gue tiba-tiba mengirim pesan via BBM, "Mama pergi ke Bogor ya sama anak-anak, sama Nangtua, Bryan, dan yang lain juga." Oke, BBM yang "sangat menghibur" di saat gue sedang bergelut dengan berlembar SPO (Standar Prosedur Operasional- red) yang harus diterjemahkan dalam rangka akreditasi rumah sakit tempat gue bekerja.

Yep, sekarang gue sedang menjalani magang di sebuah rumah sakit tentara di Jakarta. Sepulang dari Bima, gue memutuskan untuk segera melanjutkan pendidikan gue menjadi spesialis. Bedah plastik emang selalu jadi impian gue sejak gue masih koas. And lucky me, gue dapat kesempatan untuk magang dengan seorang ahli bedah plastik yang adalah ketua perhimpunan ahli bedah plastik di Indonesia.

Panjang sekali ceritanya gimana gue bisa terlibat dalam kegiatan akreditasi rumah sakit. Intinya, karena ketiadaan sumber daya manusia yang mumpuni untuk merampungkan proses akreditasi ini. Di tengah kepanikan rumah sakit inilah akhirnya gue diberdayakan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh para dokter yang memang sangat sibuk ini.

Pekerjaan administratif seperti membuat SPO dan pedoman-pedoman tindakan medis menurut gue sangat membosankan, tapi apa daya, gue segan dan setengah kasihan melihat pak bos yang setiap hari kewalahan mengerjakan pekerjaannya. Jadwalnya sehari-hari selalu penuh dengan kegiatan rapat, operasi, praktik pribadi, dan banyak lagi. Agak ngeri memang membayangkan diri gue akan menjadi seperti dia dalam 20 tahun ke depan, tapi gue menikmati sekali berada di tengah keriweuhan dan dikejar-kejar deadline.

Daaan akhirnya waktu yang dinanti-nantikan akan segera tiba. Dua minggu lagi rumah sakit tempat gue bekerja akan kedatangan tim surveyor yang akan menilai rumah sakit itu layak untuk menerima akreditasi atau tidak. Tegang iya, panik iya, semangat apalagi. Akhirnya gue akan segera terbebas dari SPO dan pedoman-pedoman! 

Tapi ternyata justru menjelang hari H, masalah-masalah kecil bermunculan. Semua dokter di rumah sakit mulai panik dan menyelesaikan masalah masing-masing. Begitu pun dengan bos gue, si dokter panikan sedunia, yang sudah pasti heboh membenahi kekurangan dari hasil pekerjaannya. Gue pun ikutan lembur untuk merapikan dan menerjemahkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk akreditasi. 

Di tengah kelelahan lembur itulah, datang BBM manis dari ibu gue. How do I feel? Gue sama sekali nggak marah atau kecewa dengan keluarga gue yang pergi berlibur. Justru gue sedih karena gue nggak bisa meluangkan waktu gue untuk orang-orang terdekat gue. Even sebelum berangkat ke Bogor, ibu gue tetap nanya: "Nggak bisa izin sehari aja, Sayang?" Hati gue langsung ciut.

Gue bertanya pada diri gue sendiri. Apakah waktu bersama keluarga yang telah gue korbankan ini cukup setimpal dengan apa yang akan gue dapatkan nanti? Apakah gue akan punya kesempatan lain untuk menghabiskan waktu dengan mereka?

Gue pikir ini adalah problematika terbesar bagi orang-orang seumuran gue. We've been there, right? Kadang gue terlalu sibuk mengejar karier tanpa menyadari bahwa bapak gue udah lama sekali nggak kontrol diabetesnya, atau gue terlalu asyik dengan tugas gue dan lupa kalo udah hampir 3 bulan gue nggak menjalankan ritual nonton berdua ibu gue.

Gue nggak bermaksud mengadili siapa pun lewat tulisan ini. Ini murni adalah teguran buat diri gue sendiri. Hidup selalu menuntut kita untuk memilih. Ada orang yang mengejar uang dan karier dengan alasan agar dia dapat membahagiakan keluarganya kelak. Ada juga orang yang mengutamakan keluarganya karena dia takut tidak punya kesempatan yang sama untuk bisa menghabiskan waktu dengan keluarganya. Tidak ada pilihan yang benar atau salah, semuanya tergantung dari diri kita masing-masing.  

What about me? I have to go back to my work now, but I already had a plan to cook dinner for my family as soon as they get back from Bogor.

Choose well, people! :)

Friday, March 7, 2014

March 5th, 2014

To whom I always have the most tender feelings for.

"Our great goal in life is to love. The rest is silence.

We need to love. Even when it leads us to the land where the lakes are made of tears - the secret, mysterious place, the land of tears!

Tears speak for themselves. And when we feel like we have cried all we needed to cry, they still continue to flow. And just when we believe that our life is destined to be a long walk through the Vale of Sorrows, the tears suddenly vanish.

Because we managed to keep our heart open, despite the pain.
Because we realized that the person who left us didn't take the sun with them or leave darkness in their place. They simply left, and with every farewell comes a hidden hope."

Paulo Coelho

Tuesday, January 14, 2014

Thank You :)

Setelah 5 bulan hiatus, akhirnya saya memutuskan untuk kembali menulis di blog ini. Ternyata target untuk menulis tentang pengalaman internship saya setiap bulan tidak tercapai, karena 4 bulan terakhir masa internship dipenuhi dengan kegiatan presentasi kasus, menulis portfolio, melengkapi logbook, dan mengurus persiapan pulang kembali ke Jakarta.

31 Oktober 2013.

Itulah tanggal yang saya dan teman-teman sejawat saya nanti-nantikan. Itulah tanggal kepulangan kami ke ibukota, kepulangan kami ke rumah kami masing-masing. Untuk saya pribadi, kepulangan saya ke Jakarta menandakan berakhirnya satu bab dalam hidup saya. Bab yang cukup panjang, menguras emosi, tapi juga mengandung cuplikan-cuplikan manis. Dalam bab itu juga muncul karakter-karakter lain, yang tanpa mereka, bab internship saya ini hanya akan menjadi lembar-lembar kosong tanpa warna (eaaa...) Dan rasa-rasanya, saya tidak mau mengawali tahun 2014 tanpa mengucapkan terima kasih untuk mereka:

1.   CR
Gadis berdarah Tionghoa inilah yang menjadi teman sekamar saya selama 1 tahun internship. Awal-awal sekamar dengannya, saya selalu gondok melihat keberantakan CR. Mungkin bisa dibilang CR sial karena mendapat teman sekamar yang menderita obsessive-compulsive disorder (OCD) seperti saya. Menyadari kalau saya suka misuh-misuh bila melihat barang-barangnya yang berserakan di mana-mana, CR mulai rajin merapikan barang-barangnya. Bahkan pada akhir-akhir masa internship, dia mulai terlihat seperti saya yang suka ngedumel bila kamar kami tidak rapi. Kalau saya menularkan ke-OCD-an saya kepada CR, CR pun menularkan kecintaannya akan warna pink kepada saya. Gadis yang bercita-cita menjadi spesialis penyakit dalam ini sukses membuat saya membeli barang-barang bernuansa pink, padahal dulu saya paling anti dengan warna pink. Setahun hidup bersamanya, saya dapat menyimpulkan bahwa CR adalah gadis yang sangat baik dan calon ibu yang sangat ideal. Dia cerdas, pandai memasak, perhatian, humoris, dan selalu berpikiran positif. Beruntung sekali saya dapat mengenal dia lebih jauh selama 1 tahun.

2.   DAM
Bisa dibilang dialah pengganti ibu saya selama 1 tahun saya menjalani internship. DAM memang sangat keibuan. Dia sangat peduli dengan teman-temannya. Banyak orang mengira DAM judes dan galak, padahal sebetulnya dia orang yang sangat perhatian dan lembut hati.  DAM juga sangat suka mengobrol. Dialah makhluk paling sosial dari semua makhluk sosial yang saya kenal. Hampir tidak mungkin saya melewati satu hari tanpa mendapat pesan singkat dari DAM. DAM ini mempunyai tekad yang kuat, dia selalu berusaha 110% untuk meraih cita-citanya. Saya sendiri salut melihat perjuangannya untuk mencapai mimpinya. Saya sangat yakin kesempatan untuk menjadi spesialis anak terbuka lebar baginya. Saya pun berharap bahwa saat cita-citanya tercapai, saya masih ada di sana menjadi sahabatnya.

3.   CL
Manager yang baik, itulah CL. Eits, jangan salah. Di dalam tubuhnya yang kecil, tersimpan energi yang sangat besar. Selama 1 tahun internship, gadis inilah yang menjadi bendahara dalam kelompok kami. Dia juga yang mengurus semua kelengkapan yang dibutuhkan untuk kepulangan kami ke Jakarta. CL selalu jadi korban bully teman-temannya, dan dia selalu tidak bisa membalas bila sedang menjadi korban. Walau sering dibully, CL sangat solider dengan teman-temannya. Dia senantiasa membantu teman-temannya apabila dibutuhkan. Setahun hidup bersamanya, saya merasakan perubahan karakter CL. CL yang dulu sangat moody lambat laun menjadi lebih tenang dan mampu mengontrol emosinya. Mudah-mudahan perubahan yang baik itu tidak berhenti sesampainya di Jakarta.

4.   MC

Dialah satu-satunya pria dalam kelompok internship saya. Karena posisinya itulah, seringkali MC mengambil peran sebagai bapak bagi saya dan ketiga teman lainnya. MC sangat bisa diandalkan. Dia rela pergi ke puskesmas ketika ada pasien di malam hari, karena saya dan teman-teman perempuan saya yang lain tidak berani mengendarai sepeda motor ke Puskesmas di malam hari. Tidak hanya dalam urusan pekerjaan di rumah sakit atau puskesmas, MC juga turut mengambil tanggung jawab dalam urusan rumah tangga. MC adalah koki yang handal dan masakannya tidak kalah kelas dengan masakan di hotel. Hal ini boleh jadi disebabkan pengalamannya hidup sendiri di negeri kanguru yang mengharuskannya untuk bisa memasak sendiri. MC juga sangat senang mengajar. Jika ada kasus sulit, terutama dalam bidang kardiologi, kami tak perlu ragu untuk bertanya pada MC karena dia dengan senang hati akan menjelaskan, walau terkadang kami juga tidak mengerti karena penjelasannya yang sangat mendalam. MC memang sangat menggemari ilmu kardiologi. Dia juga bercita-cita untuk menjadi spesialis bedah toraks dan kardiovaskular. Sepertinya saya bisa membayangkan MC menjadi staf pengajar di RSCM. Semoga berhasil MC!

Wednesday, July 31, 2013

Eight Month: July 21st, 2013

That day was different. It was cloudy Sunday morning. I woke up at 6 a.m. as usual. The house was a mess, due to our scattered bags and unpacked stuffs and the residue from farewell dinner we had the night before. I had planned to go biking for the last time before I went back to town, so I did.

That day was different. I opened the garage's door, brought my bike out and started pedaling through my usual biking track. I decided not to bring along my earphones as usual. This time, I pedaled more slowly, breathed more deeply, and stared more to the view on my left and right rather than to the road I'm going through. I tried to sharpen all my senses, tried to absorb all the components of the village I was about to leave. The view of yellowish rice fields and green hills, the smell of morning grass and smoke from last night's fireplace, the sound of chickens and horses and some local people's greetings, and the chilly humid wind going through my face. I thought, I might or might not have the same experience in the future, so I wanted to save the memory of this place in my mind as much as I could.

That day was different. When I came back to the house, my friends were packing up the rest of our stuffs and cleaning up the house. I joined them in instance. We packed our stuffs in silence, we swept the floor in silence, we took a bath in silence, and we also had breakfast in silence, just as if we had different things going through our mind. Maybe some of us just realized that it was our last day in Madapangga and were in denial that we had to go back to town.

That day was different. A lady knocked on the door. The familiar voice called us. It was Bunda, our supervisor's wife. "This is it," I thought. When we opened the door, we saw the two figures that had been familiar to us for the past four months. We called the middle-aged man with grey hair and funny face "Pak Adi" and the lady with heart-warming smile on her lips all time "Bunda". Unlike any other days, that day we smiled awkwardly at each other. Farewell was getting near.

That day was different. It's been a while since the last time rain fall in Madapangga, but that day the rain chose to put extra melancholic nuance in Pak Adi's car which was taking us back to the city. The trip felt faster than ever, we felt like we arrived in town in just a blink of an eye. We arrived at our new home and we said good bye to Pak Adi and Bunda. Each of us had an odd handshake from Pak Adi and a big warm motherly hug from Bunda. With tears falling down our faces, we waved Pak Adi and Bunda good bye while their car was fading away.

That day was different. At least for me. It might be me who left Madapangga, but it was Madapangga which had left traces in me.

This post is specially dedicated to Pak Adi and Bunda, who have taught me a lot of life lessons during the four months I spent with them. Thank you for taking care of me and my friends as if we were your children, thank you for putting so much trust to five random persons that you barely know at first, and thank you for reminding us that there is so much more to life than just working your ass off days and nights for materials.

"Family isn't always about blood. It is the people in your life who want you in theirs; the ones who accept you for who you are, the ones who would do anything to make you smile, and love you no matter what." - Anonym

I think I just found my new family in Madapangga! :)

Me, Dini, Bunda, and Pak Adi in front of Senggigi Beach, Lombok, July 12th, 2013
.

Bulan Ketujuh: Momen Epik si Ibu Bidan

Suatu pagi yang cerah di PKM Madapangga.
Nia (N): "Bu, ibu menderita tekanan darah tinggi ya. Sebaiknya ibu mengurangi makan makanan asin, olah raga teratur, bla bla bla... "
Pasien (P): "Iyo" (angguk-angguk)
N: "Apa ibu sudah mengerti?"
P: (angguk-angguk dengan muka blank)
N: (curiga) "Kalau begitu silakan ambil obatnya di apotik, Bu."
P: (angguk-angguk tanpa tanda-tanda mau bergerak ke apotik)
N: "Bu, loa bahasa Indonesia?" ("Bu, bisa bahasa Indonesia?")
P: "Wati loa ni anaeee!" ("Tidak bisa nih, nakkk!")
N: (facepalm) "Lao ka apotik ta Ibu, ambil ja obat." ("Pergi ke apotik ya, Bu, ambil obatnya.")
P: (muka berbinar tanda mengerti) "Oo, iyo ta. Terima kasih Bu Bidan!"
N: "..."

***

Di hari  yang lain, seorang ibu datang membawa anaknya yang sudah 2 hari batuk dan demam.
N: "Aku periksa dulu ya anaknya, Bu."
Ibu pasien (IP): "Iya, Bu."
N: "Adek, buka mulutnya, yuk. Bilang 'Aaa..."
P: (tidak membuka mulut)
N: "Ayo buka mulutnya sebentar yuk, sayang."
P: (membekap kedua tangan di mulut)
IP: "AYO DONG BANG BUKA MULUTNYA, IBU BIDAN MAU PERIKSA!"

***

Beberapa minggu setelahnya, seorang ibu datang memeriksakan diri ke balai pengobatan. Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis, saya menyimpulkan ibu tersebut menderita vertigo. Saya memberi penjelasan bahwa ibu tersebut dapat dirawat di rumah, namun nampaknya dia tidak percaya dan  ingin diopname. Dia yakin dia mengalami pusing karena tekanan darah rendah dan harus diinfus. Dia pun menggerutu dalam bahasa Bima sambil berjalan keluar dari balai pengobatan.

Ternyata ibu tersebut tidak putus akal agar dirinya tetap diopname. Dia pun pergi ke IGD. Di sana dia bertemu dengan salah seorang teman sejawat saya. Dia mengatakan bahwa dia baru berobat dari balai pengobatan dan mendapat instruksi untuk segera diopname. Tak lama teman sejawat itu memanggil saya sambil tertawa geli, "NIA, PASIEN LO NIH KATANYA DISURUH DIOPNAME SAMA IBU BIDAN!"

***

Sebetulnya masih banyak momen-momen epik ketika saya dan semua sejawat saya yang berjenis kelamin perempuan mendapat panggilan "Ibu Bidan" dari masyarakat setempat. Setelah dipikir-pikir, wajar saja mereka menganggap kami bidan, karena selama belasan tahun terakhir, hanya ada satu dokter (yang kebetulan laki-laki) yang melayani masyarakat kecamatan Madapangga ini. Sepertinya sosok pria setengah baya dengan julukan "Pak Dokter" sudah terlalu melekat di benak mereka sehingga memanggil perempuan-perempuan usia 20-an seperti kami dengan julukan "Bu Dokter" nampak sangat tidak lazim.

Kali pertama dipanggil Ibu Bidan, saya masih berusaha menjelaskan bahwa saya adalah dokter, begitu pula dengan kali kedua dan ketiga. Mencapai kali kelima, keenam, dan ketujuh, saya mulai pasrah. Dalam benak saya, "Tak apalah masyarakat Madapangga mengingat saya sebagai Ibu Bidan, yang penting mereka mengingat saya sebagai seorang Ibu Bidan yang baik, sama seperti mereka mengingat Pak Dokter yang baik dan setia melayani mereka selama belasan tahun."

Wednesday, June 19, 2013

Sixth Month: Cooking Carnivale!

Working in primary healthcare service is challenging in times. It's been 3 months since I worked here in PKM Madapangga, Bima, and I'm still not getting used to so-called "the art of doing nothing". Yep, working in primary healthcare service is undoubtedly far less stressful than working in the general hospital. Daily, I have less than 10 patients. It's one-third of the patients I met during my work in the general hospital daily!

This over-relaxed daily routine quickly progress to boredom. Hence in the mood fighting the boredom and reducing the weight I've gained due to previous overeating (what else can I do when I'm bored?), I started to do my research on weight loss. So, there are four keys to healthy weight loss: eat clean, train regularly, sleep early, and drink a lot of water.

Working out, sleeping early, and drinking water are tolerable for me, but clean-eating is another story. From the result of my religious browsing, it is suggested that I cook two of the three meals I have in a day. Therefore, I can control the things that I stuck in my gut (it is called "conscious bite" by some people).  

Well, the problem was: I used to hate cooking! Even my mom had to drag me to the kitchen to help her cook back then. So who made me cook? Well, it's actually  not a "who", but a "what". It's Instagram! Thanks to all the pretty clean food pictures I saw, they successfully tempted me to bring my feet to the kitchen. 

So there goes my clean-food-cooking lesson. Some of my cooking failed, but some of them were successful. But there is one thing that matters most: I started to like cooking. It just feels good when you and your friends eat something that you make by yourself and you know you're nurturing yourselves with good things. Started as a time-killer, ended up to be a new hobby, clean eating and cooking showed some results: my weight went back to the previous number before I went to Bima PLUS all the immunity (I barely get sick lately!).

Even so, I still have my cheat-meal. It's very important that I enjoy my healthy-life journey. For a sweet tooth like me, cheat-meal means one thing: sugar! I still eat cakes and cookies as much as I want. Somehow it keeps me going and urges me to get back to my clean-eating for the next days. Well, we only live once so make the most of it: do what you love and eat what you like (once in a while)!

p.s: I'm not writing this to bluff myself, but to motivate young people to start healthy-living. I'm a beginner as well, but an expert was always a beginner once, right? 

Some of the clean food I made :)

Monday, April 22, 2013

Fifth Month: Learn to Make Lemonades

Hi there! 

Been a while since my last post, huh?

Actually I don't have any expectation that anyone would read my blog, but hey, some people do! Well the pressure is really on now! LOL

My internship now has passed the fifth month and I have moved to the community health center (Puskesmas/ PKM-red) rotation. It was located in Madapangga village, far away from Bima city, about 60 minutes by car. The village was located between hills and rice fields, reminds me of my dad's hometown. We live in our supervisor's home (which is humongous!) and we are provided with a motorcycle and an ambulance (both vehicles are as old as me) as our transportation means.

Well so much for intro! 

This week was frankly a very hard week for me. Me and the rest of the gang somehow were faced to a series of unfortunate events each and every day of the week. Starting from the broken stove, then comes the broken water pump, then our old ambulance called it quit and refused to be driven! To sum it up, our only hope, our  old old motorcycle, got flattened tire. Altogether with my premenstrual syndrome it was indeed a stressful week for me. But then I got a clear message today:

"As much as I want to complain about everything, life always shows me that I don't deserve to."

This afternoon I have to drag myself to buy groceries. Half tired and half grumbling, I pedaled my bike unwillingly to the market, 2 miles away from our house. On my way to the market, a guy passed my bike. He looks just like a normal guy, until my sight flashed through his legs. This guy only used one leg to pedal his bike. What about the other leg? It WAS there, but it was smaller then the other leg and it couldn't reach the bike's pedal, so it was rested on the pillar of the bike. He was cycling with one leg!

My heart was instantly shrunken. Wow, just in time I couldn't stop squawking about things, and BAM! this single-leg-biking guy hit me and shout to my mind "you have no clue about what you're complaining about!" I was so ashamed with the fact that I pray every morning that I can be content with what life gives me, but at the end of the day I refuse it. One of my friend said, "each moment in life is all we need". It is true. Whether we are in pain or in gain, just go through it in positive way because in both both ways, life is maturing us.

I'd like to end this post with a quote:
"If life gives you lemon, make lemonade out of it (or lemon tea, or cocktail, or anything! :p)"