Tuesday, September 6, 2022

Menjadi Anak SD dan Orang Tua Anak SD

Tanpa terasa, anak sulung saya sudah memasuki jenjang sekolah dasar. Hampir 2 bulan yang lalu saya hadir di sekolah baru si Abang untuk pertemuan guru dengan orang tua murid. Ketika itu, seorang Suster memimpin doa pembuka (sekolah anak saya adalah sekolah Katolik). Salah satu kalimat dalam doa beliau kurang lebih seperti ini: "Ampuni kami Tuhan, apabila kami menuntut hal-hal yang belum bisa dilakukan oleh anak-anak kami..."

For me, those words are STRONG. Beberapa minggu ini, kalimat dalam doa tersebut selalu terngiang di otak saya. Memasuki jenjang sekolah dasar, saya merasakan betul bahwa pelajaran yang akan dihadapi oleh si Abang akan semakin berat dengan tingkat kerumitan dan jumlah mata pelajaran yang meningkat. Belum lagi, pandemi juga masih berlanjut sehingga pembelajaran jarak jauh bisa saja dijalankan kembali apabila memang jumlah kasus meningkat lagi. Situasi itu membuat saya menjadi anxious. "Apakah anak saya akan bisa menjalaninya?"

Maka mulailah saya mencari-cari tempat les, mengatur sesi belajar di malam hari, karena hanya di malam hari saya bisa mendampingi si Abang belajar. Kadang belajar bersamanya terasa menyenangkan karena kami bisa menikmati waktu berkualitas bersama, tapi di waktu lain belajar bersama terasa sangat berat hingga saya tidak kuasa menahan emosi dan nada tinggi. Kadang ketika nada bicara saya sudah mulai meninggi ketika mengajar, air mata mulai menggenang di kedua mata anak saya. Di titik itulah saya tersadar.

Apa yang sedang saya lakukan?

Apakah saya sudah membuatnya trauma?

Apakah saya memaksakan standar diri saya ke anak kami?

Saya pun terpukul ketika mengingat tatapan si Abang ke saya, ketika saya merasa gemas karena dia belum memahami materi yang saya ajarkan atau ketika tulisan tangannya tidak rapi. Tatapan dengan rasa bersalah. Rasa bersalah yang seharusnya tidak ada. Rasa bersalah yang saya ciptakan dalam dirinya, ketika dia tidak memenuhi ekspektasi saya dalam hal akademis. Padahal kami pun bukan orang tua yang sempurna. Saya dan suami sama-sama bekerja, tidak jarang pulang malam dan tidak jarang keluar kota bahkan keluar negri berbulan-bulan. Tap tak pernah ia bernada tinggi pada kami, tak pernah ia merasa gemas karena orang tuanya tidak ada di sana ketika ia membutuhkan kami.

"Ampuni kami Tuhan, apabila kami menuntut hal-hal yang belum bisa dilakukan oleh anak-anak kami..."

Doa Suster yang saya dengar beberapa waktu lalu, pun akhirnya menjadi bagian dalam doa saya sehari-hari. Anak saya bukan robot ataupun mobil-mobilan yang dapat dikendalikan untuk dapat beradu dengan anak lain. Dia memiliki perasaan, minat, dan juga cara berpikirnya sendiri. Saya sebagai orang tua tidak hanya bertanggung jawab terhadap nilai akademisnya, namun juga memelihara keimanannya dan kesehatan mentalnya.

Saat ini pun saya masih belajar merubah pola pikir saya. Anak kami bukanlah versi kecil dari kami. Ia mempunyai perjalanan hidupnya sendiri. Saya hanya bertugas mendampingi dan mengasihinya sehingga ia menjadi versi terbaik dari dirinya, bukan berdasarkan standar saya. Les dan belajar bersama bukanlah hal yang salah untuk dilakukan, namun harusnya hal tersebut saya lakukan tanpa emosi dan paksaan.

Bagi orang tua yang sudah memiliki pemahaman ini, saya turut berbahagia. You guys are in the right way. Bagi orang tua yang memiliki kegalauan yang sama, mari kita sama-sama belajar dan berdoa. Berusaha sebaik-baiknya untuk mendampingi anak kita seutuhnya. Semoga Tuhan memberkati anak-anak kita. 

Monday, August 16, 2021

Kisah Pendek Tentang Mama

 Mamaku lahir 67 tahun yang lalu di Pansur Batu, Tarutung, Sumatera Utara. Mama adalah anak bungsu dari 6 bersaudara. Katanya, dahulu Mama punya Ito (saudara laki-laki) yang meninggal muda. Ayahnya adalah seorang pengusaha minyak kayu putih yang sukses, sementara Mamanya adalah petani yang handal. Dari caranya bercerita tentang Opung Doli (kakek), saya bisa melihat jelas kekaguman Mama akan Ayah tercintanya.


Opung Doli adalah seorang anak laki-laki sulung di keluarganya. Di dalam adat Batak kala itu, anak sulung adalah breadwinner, bukan hanya untuk keluarga intinya, tapi untuk keluarga besarnya. Anak laki-laki sulung juga diharapkan dapat menjadi pemimpin untuk keluarga besar. Dari apa yang kudengar dalam cerita-cerita Mama, aku bisa menarik kesimpulan bahwa Opung Doli berhasil menjalankan tugasnya dengan baik sebagai anak laki-laki sulung. Opung Doli berhasil dalam pekerjaannya, menafkahi keluarganya, dan membuka lowongan pekerjaan bagi saudara-saudaranya. Sebagai Ayah, Opung Doli adalah sosok yang sangat lembut, penyayang, tidak pernah marah, namun tetap tegas dalam mendidik anak-anaknya. Menariknya, Opung Doli juga pandai memasak. Mamaku bercerita, kalau Opung Doli sudah memasak, wanginya akan memenuhi seisi rumah, dan anak-anaknya akan berbaris menunggu masakan Opung Doli keluar dari dapur. Sebagai pemimpin keluarga besar, Opung Doli juga memberikan contoh yang baik untuk keluarganya. Beliau taat beribadah dan sangat dermawan kepada gereja. Opung Doli pernah mengalami kerugian dalam usahanya, yang disebabkan oleh saudaranya sendiri, namun Opung Doli tidak pernah berhenti berbuat kasih pada saudaranya itu. Saya sangat menyukai ekspresi Mama ketika bercerita tentang Opung Doli, wajahnya pasti berseri-seri dengan mata berbinar penuh kerinduan.


Tanpa Mama sadari, walaupun beliau bukan anak laki-laki apalagi anak sulung, banyak sekali kesamaan yang saya lihat pada dirinya dengan Opung Doli. Mama adalah seorang pengusaha yang luar biasa. Mama tidak bersekolah tinggi. Beliau lulus D1 dari IKIP Jakarta. No fancy title. Tapi dengan masa studi yang sependek itu (relatively, compared to me who spent 5 years to get my MD title and still going through my 3rd year of residency), Mama berhasil mendirikan perusahaannya sendiri. Bahkan sampai usianya saat ini, Mama masih bisa membuka lowongan pekerjaan  dan menjadi saluran berkat bagi saudara-saudaranya. Perusahaan Mama memang bukan perusahaan multinasional dengan omset trilyunan, tapi sangat cukup bagi keluarga kami. Dalam pekerjaan, Mama adalah sosok yang disiplin, bahkan galak, namun itu tidak membuatnya menjadi bos yang menakutkan. Pegawai Mama sangat menyayanginya, karena di luar pekerjaan, Mama tidak segan menunjukkan sisi keibuannya. Beliau adalah lady boss sejati!

Papa dan Mama

Dalam keluarga besar, Mama juga dikenal sebagai orang tua yang dermawan. Mama tidak akan ragu membuka dompet, untuk mengadakan acara kumpul-kumpul keluarga besar. Beliau senang bila keluarganya bisa berkumpul, sekedar untuk ibadah dan makan bersama. Keluarga yang kesulitan pun tak luput dari perhatiannya. Mama tidak segan-segan mengajak keluarga yang lebih mampu, untuk mengulurkan bantuan bagi keluarga yang kurang mampu. Tanpa basa basi, Mama akan "tembak langsung" bila ada keluarga yang pikir panjang untuk membantu. Cintanya pada saudara-saudari kandungnya pun, patut dicontoh. Bahkan setelah menyandang gelar Opung Boru (nenek) dari 3 cucunya, Mama tetap menyempatkan waktunya untuk bisa ber-quality time dengan Ito dan Kakak-Kakaknya. Walaupun tinggal berjauhan, mereka selalu saling merindukan. Sederhananya, mereka sangat erat sebagai kakak beradik. Dalam keluarga kecil kami, Mama adalah motor penggerak kami. Walaupun keras, Mama tetap adalah Mama yang penuh kasih sayang. Sewaktu kecil, ketika saya senang bermain air banjir di jalanan depan rumah, Mama akan memarahi saya dan memukul betis saya dengan sapu lidi. Setelah hukuman saya selesai, Mama akan memeluk saya dengan sangat kencang dan menjelaskan kenapa beliau memarahi saya. Bahkan ketika saya hamil, Mama akan marah kalau tahu saya jajan jajanan bermicin atau tidak menghabiskan minuman kacang hijau yang beliau buat, tapi wajah cemasnya ketika mendampingi persalinan saya, itu priceless. 

Mama dan Kedua Kakaknya

Mama adalah ratu sosial. Haha, but it's true! She IS the queen bee. Tidak seperti saya, Mama tidak akan pernah kehabisan topik yang bisa diperbincangkan. Beliau adalah orang yang sangat terbuka, bahkan terkadang terlalu mudah percaya. Karena sifatnya yang mudah percaya itu, Mama harus melalui titik terendah dalam kehidupannya. Tapi hal itu membuatnya belajar, loyalty is the most important thing in friendship. Sekarang ini, Mama sangat enjoy menghabiskan waktu bersama teman-teman terdekatnya, yang sudah beliau kenal sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Walau terkadang, sepulangnya dari refreshing, Mama akan kena omelan saya, karena masih berani kelayapan di masa pandemik. Hahaha!

Mama dan Beberapa Sahabatnya

With all the things she has done, I can't believe she still has time to do all of her hobbies. Mama suka sekali akan banyak hal. Mama sangat up-to-date soal fashion. She IS the trendsetter. Tidak jarang saya mendengar Mama mengucapkan tidak akan beli baju baru lagi, karena lemari dan kontainer pakaiannya sudah penuh sesak, namun sepertinya ucapan itu hanya berlaku seminggu, sebulan paling lambat! Menurutnya, pakaian yang cantik membuatnya sangat percaya diri, terutama bila sedang bekerja. Mama juga sangat senang bereksperimen di dapur. Kata adik iparku, makanan di rumah kami selalu jatuh pada 2 golongan, makanan enak atau makanan enak banget. Haha, so true! Masakan Mama memang enak banget, bahkan tumisan sayur biasa aja rasanya beda kalau Mama yang masak. Tapi saya enggak pernah berhasil mempelajari resepnya, karena Mama enggak pernah punya takaran pasti untuk masakannya, semuanya ilmu kira-kira. Mama juga sangat senang memelihara tanaman. Ini bukan hobi yang baru muncul sejak pandemik, loh. Sedari saya kecil, Mama sudah gemar memelihara tanaman dan bunga. Tapi semenjak pandemik, hobinya ini semakin menjadi-jadi. Travelling juga adalah salah satu hobi Mama, yang mana jadi sangat terbatas semenjak pandemik Covid-19. Tapi enggak juga sih, Mama masih tetap jalan-jalan antarpropinsi selama pandemik ini. Jiwa petualangnya memang cukup besar, sehingga agak sulit terbendung, despite the pandemic. Syukurnya, beliau menjalankan protokol kesehatan dengan cukup baik, sehingga sampai detik ini masih terhindar dari si virus.

My Gorgeous Mom

Oh, I can go on and on and on when telling her stories. Just like the way my Mom admires her Father, I adore her as much. I am so proud of her and always will be. And someday, when my children asked me about their Opung Boru, I will gladly re-read this post.


I love you, Mom.



Tuesday, April 14, 2020

Bekerja dari Rumah, Belajar dari Rumah, Ibadah di Rumah, Versiku

Wabah COVID-19 memang sangat mengkhawatirkan. Jumlah pasien yang positif meningkat pesat, yang meninggal karenanya pun tidak sedikit. Orang-orang di sekitar saya, sejawat saya, pendeta yang saya kenal, relatif saya, juga mengalami imbasnya. Semenjak Presiden Jokowi mengumumkan bahwa penduduk Indonesia harus bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di rumah tanggal 15 Maret 2020, banyak sekali perubahan yang terjadi pada saya dan keluarga saya.

Bekerja dari Rumah
Hal ini tentu tidak dapat saya lakukan. Sebagai tenaga medis, saya tetap bekerja di rumah sakit, walaupun dengan intensitas yang lebih rendah dari biasanya. Saya bekerja di poliklinik 2-3 kali seminggu dan di IGD 2 kali dalam sebulan. Ayah saya tidak banyak mengalami perubahan, karena beliau memang sudah tidak bekerja lagi. Sementara itu, ibu sayalah yang paling merasakan dampak dari anjuran pemerintah ini. Ibu saya adalah wanita yang sangat aktif, tidak bisa diam di rumah. Jadi ketika Presiden Jokowi mengumumkan work from home kami sudah bisa menduga pasti ibu sayalah yang paling sulit menahan diri. Ibaratnya, dia bisa "stres" kalau di rumah saja! Wkwkwk... Selama beberapa minggu ini, "pekerjaan" kami di rumah adalah olah raga pagi, berjemur, makan pagi, mandi, mendampingi anak saya belajar, membersihkan perabotan atau mainan anak saya, makan siang, menonton film, tidur siang, makan kudapan sore, mandi, makan malam, dan menonton televisi atau menemani anak saya bermain sampai mengantuk. Such a slow life! Hahaha... Ibu saya kadang mengeluh karena dia sangat rindu keluar rumah. Saya? Saya pribadi merasa ini seperti mimpi! Di tengah kesibukan residensi, acara keluarga (ada orang bilang orang Batak setiap minggu pasti ada pesta atau arisan), dan kesibukan lainnya, saya mendapat kesempatan untuk bangun pagi dan memandangi wajah anak saya (ya maunya suami saya juga, tapi dia masih di Lebanon..wkwkwk) yang sedang tidur tanpa khawatir akan terlambat ke rumah sakit. Entahlah, mungkin memang pada dasarnya saya orang yang introvert, tapi menurut saya momen ini priceless.


Belajar dari Rumah
Ada 2 orang di rumah yang masih mengikuti pendidikan formal, yaitu saya dan anak laki-laki saya. Akibat wabah COVID-19 ini, pendidikan spesialis saya memang mengalami hambatan, istilahnya dalam beberapa minggu ini proses belajar di rumah sakit mengalami resesi, walaupun tugas akademik tidak diundur tenggat waktunya (hiks). Anak saya juga harus belajar dari rumah. Setiap hari Miss yang mengajarnya di sekolah akan mengirimkan video, tugas apa saja yang harus dilakukan oleh anak saya hari itu. Saya sebagai orang tuanya, diminta untuk mendampingi proses belajarnya. Memang menjadi guru ternyata tidaklah mudah. Seringkali saya tidak sabaran dalam mengajar anak saya dan berujung pada wajah seram dan suara tinggi. Kadang saya merasa bersalah, karena apa yang saya lakukan itu bisa saja membuat anak saya trauma dan tidak mau belajar lagi. Sedikit demi  sedikit, saya mempelajari karakter anak saya, mengenali cara belajar apa yang paling nyaman untuknya. Proses mendampinginya belajar juga membuat ikatan perasaan yang dulu terasa longgar karena minimnya kebersamaan, kini menjadi erat kembali. 

Ibadah di Rumah
Sejak 22 Maret 2020, kami sekeluarga telah memulai ibadah di rumah saja. Ibadah hari minggu bagi kami bukanlah semata untuk hadir di gereja saja. Hari minggu adalah hari keluarga untuk kami, karena biasanya kami bisa berkumpul lengkap di hari itu. Ibadah minggu pun seringkali dilanjutkan dengan acara makan bersama atau sekedar ngopi dan mengobrol di kafe. Sekarang, kami harus melaksanakan ibadah di rumah menggunakan live streaming. Memang pertama kali melakukannya, saya merasa canggung, namun setelah beberapa kali mengikuti ibadah virtual, saya merasakan ada sisi positifnya juga, loh. Di gereja seringkali perhatian kita terganggu, semisal ada sahabat yang mengajak ngobrol, ada baby yang menangis, ataupun ada jemaat yang menarik penampilannya. Di rumah, saya merasa ibadah saya menjadi lebih khusuk dan minim distraksi. Selain itu, sebagai guru sekolah minggu, saya dan teman-teman menjadi lebih aktif mempersiapkan ibadah virtual untuk anak-anak sekolah minggu di gereja kami. Setiap orang berpartisipasi, berusaha memberikan yang terbaik untuk dijadikan bahan ajaran. Beberapa waktu yang lalu, kami juga merayakan Hari Jumat Agung dan Paskah melalui ibadah virtual. Saya sangat merasakan keuntungan dari ibadah virtual ini, karena saya dapat mengikuti beberapa kali ibadah dari berbagai gereja tanpa harus bergerak kemana pun. Isn't it great?

Well, bukannya saya senang dengan adanya wabah COVID-19 ini. Namun, bagi saya pribadi, virus ini telah memberikan banyak pelajaran. Sudah pasti virus ini mengajarkan saya bahwa kita manusia ini, bukanlah apa-apa dibandingkan sang Pencipta. Lihatlah saat ini, kita takut pada sebuah virus, yang ukurannya bahkan lebih kecil dari sebuah sel. Just like that, Tuhan membolakbalikan dunia ini. Jadi tidak ada artinya bagi kita untuk menyombongkan diri, kemampuan, atau kepemilikan kita, karena semua itu fana. Bagi saya pribadi, pandemik ini adalah kesempatan yang diberikan bagi saya untuk merefleksikan diri saya, nilai-nilai yang selama ini saya pegang, dan apa yang benar-benar berarti bagi saya.  Tentu saja suatu saat pandemik ini akan berakhir dan kita harus melanjutkan hidup. Ketika waktu itu tiba, saya yakin kita semua telah siap untuk menjalaninya dan make the best of it. Tetap semangat walaupun di rumah saja, ya!

Monday, February 24, 2020

Appreciation Post

Sebenernya malu juga ya bikin postingan ini, karena setelah saya kilas balik postingan-postingan terakhir saya, ternyata banyak juga postingan tentang suami saya... Hehehe...

But anyway, I really have to post this. Bahkan sebenarnya saya sudah merencanakan untuk memposting tentangnya dari sebulan yang lalu *handsupyouprocastinators*

Awal tahun ini, tepatnya 3 Januari 2020, suami saya mendapatkan kepercayaan untuk bergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL). Satuan Tugas ini bertanggung jawab untuk menjaga keamanan di perbatasan Lebanon dengan Israel (memastikan tidak ada angkatan Israel yang menduduki Lebanon Selatan), membantu pemerintah Lebanon dalam pengembalian otoritasnya, serta menjaga perdamaian dunia secara umum. Oke guys, zuzur kalimat sebelumnya saya translate dari website ini: https://unifil.unmissions.org/ (silakan diklik kalau tertarik mengetahui lebih lanjut tentang UNIFIL)

Pertama kali suami saya memberitahukan bahwa dia akan berangkat penugasan lagi, saya cukup mengalami dilema. Another long-term deployment, another long distance marriage, and so on. Kalau pengalaman ditinggal suami untuk penugasan, tentu saja ini bukan pengalaman pertama saya. Selama 4 tahun kami menikah, saya rasa hampir separuhnya kami habiskan dalam jarak jauh. But that fact does not make it easier for me to accept another departure, having in mind that I'm still in the most tiring phase of my ophthalmology residency.

Selain penugasan selama 12 bulan, seluruh tentara yang akan diberangkatkan juga menerima pembekalan di Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) Sentul, terhitung sejak 3 bulan sebelum keberangkatan. Suami saya, yang ditunjuk sebagai Perwira Seksi Personil (Pasipers), juga intens mempersiapkan kelengkapan dokumen untuk keberangkatan serta kloter keberangkatan (chalk) selama masa pembekalan ini. Tidak jarang saya merasa sedih, karena suami begitu sibuk, bahkan sebelum dia benar-benar berada di Lebanon.

Singkat cerita, tibalah waktunya suami saya harus berangkat ke PMPP untuk dikarantina sebelum hari keberangkatan. Suami saya bercerita, ketika dia berpamitan kepada komandan di tempat dia berdinas, komandan (Kakum Kostrad) berkata padanya "Wah, pulang dari Lebanon bisalah beli mobil Innova, nih.".

Lalu saya bertanya pada suami saya, "Lalu kamu bilang apa?"

Suami pun melempar senyum pada saya dan menjawab, "Izin Kakum, uangnya mau saya tabung untuk membantu istri saya yang sedang sekolah."

Seketika itu juga saya menangis, bukan karena sedih, namun karena terharu mendengar jawaban suami saya. Saya tahu selama beberapa bulan yang lalu, suami saya berangan-angan membeli motor baru karena motornya sudah tua. Saya juga ingat, suami saya ingin membawa keluarganya pergi berlibur apabila dia mendapat rezeki. Tapi jawaban yang dilontarkannya ke Kakum, sungguh di luar dugaan saya. Dia menyatakan kasihnya pada saya di hadapan orang yang dia hormati.

So, this is my appreciation post for my husband. Thank you for always putting me as your priority. I am really really thankful to have you in my life and to walk  this path of life with you. Untuk sementara waktu ini, enggak ada lagi yang bawain air putih setiap bangun pagi dan sebelum tidur malam, enggak ada lagi yang ajak doa pagi bareng, dan enggak ada lagi rekan streaming film di laptop sambil makan martabak coklat keju. But, everything will be okay. Semoga kamu selalu dalam perlindungan Tuhan dalam pekerjaanmu di sana, menjadi terang dan garam di tengah-tengah lingkunganmu, kembali ke tanah air dalam keadaan sehat. Itulah yang paling penting!

On the Day of His Deployment

Saturday, March 23, 2019

The Firstborn

The firstborn has to deal with his parents' fuss
Because he arrives quite early
When his parents are still getting to know their real spouse

The firstborn has to deal with his parents' plainness
When they have no idea on what to do when colic strikes
Or when the new tooth pops

The firstborn has to deal with lonesomeness
Because his parents are still working hard to get the promotion
Or just to pay the bills 

The firstborn has to deal with his parents' ignorance
When their eyes cannot swift from the screens

The firstborn has to deal with his parents' misconception
That his world is not made of toys and books
But his parents' hugs and kisses

For so many things he has to deal with in his early life.
That is why the firstborn always takes a special room in his mother's heart.

Monday, June 26, 2017

My First Year of Breastfeeding

Hari ini tepat 1 tahun 2 minggu saya memberikan ASI eksklusif untuk Nixon. Kalau bahasa kekiniannya, Nixon sudah lulus S2 ASIX. Bukan bermaksud menyombong, tapi saya bersyukur sekali diberi kemampuan oleh Tuhan untuk memberi ASI kepada anak saya. Enggak sedikit ibu yang menyerah di tengah perjalanan memberi ASI untuk anaknya, terutama ibu pekerja. Nah, jadi saya mau sharing sedikit bagaimana saya dapat bertahan saat ini untuk memberi ASI untuk Nixon.

1. Tabungan
Pertama kali saya memompa ASI adalah 5 hari pasca melahirkan. Payudara saya bengkak dan nyeri. Sahabat sayalah yang mengajarkan cara memompa ASI yang benar. Sejak saat itu mulailah saya menabung ASIP. Selama cuti melahirkan, saya mengumpulkan cukup banyak ASIP tabungan. Ketika saya menyusui Nixon dengan payudara kanan, maka saya juga memompa payudara kiri, begitu pula sebaliknya. Sehari sebelum saya bekerja, ada sekitar 30 botol ASIP dan 60-an kantong ASIP di dalam freezer.

Mitos: Punya tabungan ASIP se-freezer adalah kunci untuk kesuksesan ASI eksklusif.
Fakta: Setelah saya melakukan riset kecil-kecilan dan membuka buku pelajaran saya dulu, ASI itu unik, karena komposisinya yang berubah setiap saat, sesuai dengan kebutuhan bayi. Misal pada bulan-bulan awal, ASI lebih banyak mengandung protein untuk meningkatkan berat badan bayi, maka pada bulan berikutnya jumlah lemak yang meningkat untuk memenuhi kebutuhan perkembangan otak. Jadi, sebaiknya jarak antara usia ASIP dan usia bayi enggak terlalu jauh, agar nutrisi yang diberikan pada bayi sesuai dengan kebutuhan di usianya.

Berbekal dari hasil riset, tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk memberi ASIP segar untuk Nixon setiap hari. Jadi, Nixon hampir enggak pernah minum ASIP yang sudah dibekukan (kecuali ketika saya sakit). Nixon minum ASIP yang saya bawa dari kantor sehari/ 2 hari sebelumnya dan hanya disimpan di chiller kulkas. Jadi kemana perginya 30 botol ASIP + 60 kantong ASIP? Some went to the babies who really need it, some went to waste.

2. While Me and My Baby Were Separated
Me:
Saya kembali bekerja tepat setelah cuti melahirkan saya habis, yaitu ketika Nixon berusia 2 bulan 3 minggu. Pertama kali saya memompa ASI di kantor, saya memerlukan waktu 50 menit hingga 1 jam untuk 1 sesi memompa. Berarti hampir 3 jam dari 9 jam waktu kerja saya dihabiskan untuk memompa *salim sama bos* Ternyata waktu saya banyak habis untuk merakit pompa dan mempersiapkannya (cuci, steril, dsb). Setelah membaca info dari Mom Eliz (Instagram: elizabeth.zenifer), akhirnya 1 sesi memompa dapat selesai dalam 30 menit. Triknya, saya enggak melepas lagi rakitan pompa kecuali corongnya. Corong pompa cukup saya simpan dalam plastik ziplock dan masukkan ke dalam kulkas hingga sesi memompa berikutnya. Ringkes banget!
Nah karena jam kerja saya berubah-ubah setiap harinya (saya kerja shift), maka waktu memompa pun berubah-ubah. Biasanya saya memompa 3 kali selama bekerja, yaitu sebelum mulai kerja, saat istirahat makan siang, dan sebelum pulang. Dengan cara ini saya dapat membawa pulang kira-kira sekitar 450-550 ml ASIP setiap hari.

My Baby:
Sebulan sebelum saya bekerja, Nixon sudah saya latih untuk minum ASIP menggunakan botol. Cukup drama sih, karena Nixon enggak langsung mau pakai botol. Setelah sekitar 10 kali mencoba, akhirnya Nixon mahir minum dengan botol. Ketika saya mulai kerja, kapasitas minum Nixon sudah 120 ml. Selama saya tinggal kerja, karena Nixon belum mulai makan MPASI, Nixon bisa minum sebanyak 5 kali. Artinya, selama saya tinggal kerja (kurang lebih 12 jam termasuk perjalanan pergi dan pulang dari tempat kerja), Nixon menghabiskan sekitar 600 ml ASIP.

Secara perhitungan, ASIP yang saya bawa dari kantor masih defisit. Makanya saya menambah 1 lagi sesi memompa di rumah. Ini saya lakukan hingga Nixon berusia 6 bulan, karena setelah 6 bulan, Nixon sudah mulai MPASI dan kebutuhan ASI-nya "sedikit" berkurang. Oya, karena saya pemalas dalam hal pompa memompa, saya mengusahakan sekali untuk tidak memompa lebih dari 4 kali sehari. Jadi, saya pulang kerja tepat waktu (TENG-GO!) dan go straight home. Enggak ada lagi acara haha-hihi setelah kerja, mampir sana sini, well bisa dibilang kehidupan sosial agak dikorbankan *hiks*. Soalnya, makin lama saya terpisah dengan anak saya, maka makin banyak ASIP yang dia minum dan makin banyak hutang ASI saya, ujung-ujungnya saya harus makin sering pumping deh. Jadi ya, selama setahun ini, saya enggak mau terpisah dari anak saya kecuali ketika kerja atau acara penting (misalnya pertemuan Persit di kantor suami).

3. Things I Can't Go Without
My Breastpump
Saya punya 2 jenis pompa, manual dan elektrik. Pompa manual saya bermerk Pigeon, lungsuran dari kakak sepupu saya. Selama saya cuti melahirkan, inilah pompa yang saya gunakan, karena pompanya ringkes sekali. Pompa listrik saya bermerk Medela Swing, pemberian dari teman saya. Ini pompa yang saya pakai ketika mulai bekerja hingga saat ini.

Cooler Bag + Ice Pack
Sahabatnya pompa ya tas pendingin, untuk membawa perlengkapan memompa dan membawa ASIP. Saya menggunakan tas pendingin Okiedog dengan 2 buah ice pack. Menurut  saya semua merk tas pendingin sama saja kok, enggak ada yang lebih superior. Yang penting kompartemennya cukup besar untuk memuat pompa + ice pack + botol ASIP.

Tumbler + Snack
Namanya ibu menyusui, pasti sering haus dan lapar. Oleh karena itu, saya tidak pernah lupa membawa botol minum dan cemilan. Selama di tempat kerja biasanya saya menghabiskan sekitar 2,5 L air putih, belum termasuk minum selama di rumah dan minuman rekreasi seperti susu, teh, dsb. Cemilan yang biasa saya bawa roti-rotian, buah-buahan, es kacang, regal, atau malkist.

Nursing Apron
Sebenarnya apron enggak esensial banget sih, tapi karena dulu waktu hamil saya terlalu terobsesi sama apron lucu, jadilah saya punya 2 apron. Awal-awal memompa di kantor, saya masih rajin pakai apron. Lama-kelamaan, apron pun terhempas...hahaha...segalanya demi efektivitas waktu!

Supplements
Ini juga sama seperti apron, enggak esensial. Saya minum Suplemen jika saya merasa makanan saya hari itu kurang bergizi (contoh: nasi goreng). Saya minum Blackmores for Pregnancy and Breastfeeding, suplemen yang sudah saya minum sejak hamil. Suplemen ini fungsinya bukan untuk meningkatkan jumlah ASI ya (remember, supply by demand). Suplemen ini memastikan bahwa kebutuh mikronutrien saya dan Nixon terpenuhi. Kalau kita makannya udah sehat dan variatif, ya enggak perlu suplemen ya.

Kira-kira begitulah perjalanan saya dalam 1 tahun meng-ASI-hi Nixon. Apa saya akan melanjutkan perjalanan ini? Definitely yes. Tadinya saya mau menyerah dan berpikir untuk mulai memberi susu formula untuk Nixon. Tapi DSA enggak menyarankannya dan dari hasil browsing sana-sini, sedikit sekali kandungan susu  formula yang dapat dicerna usus bayi. Belum lagi efek sampingnya yang belum diketahui. Bukan berarti saya anti susu formula sih, tapi kalau saya masih dimampukan untuk memberi yang terbaik untuk anak saya, pasti saya akan memperjuangkannya. Ibu pasti berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya bukan? :)



Tuesday, May 16, 2017

Nixon Dibaptis

Satu hal yang saya nanti-nantikan ketika suami saya pulang dari penugasan adalah membawa Nixon untuk dibaptis. Setelah usianya mencapai 11 bulan 3 hari, akhirnya Nixon kami pun menerima Sakramen Baptisan Kudus. Setelah berdiskusi dengan mertua dan orang tua, akhirnya kami memutuskan untuk membawa Nixon dibaptis di Gereja HKBP Immanuel Kelapa Gading.
 
Sekitar sebulan sebelum hari H, kami menemui pendeta untuk meminta diadakannya Sakramen Baptisan Kudus untuk anak kami. Akhirnya diputuskanlah bahwa Sakramen Baptisan Kudus akan diadakan pada tanggal 14 Mei 2017. Dua hari sebelum tanggal tersebut, saya dan suami mengikuti kelas konseling/ marguru bersama pendeta. Pesan yang dapat saya ambil saat konseling tersebut:
1. Sakramen Baptisan adalah satu dari dua Sakramen yang diakui oleh gereja, yaitu Sakramen Baptisan Kudus dan Sakramen Perjamuan Kudus.
2. Air yang digunakan pada saat Sakramen Baptisan Kudus melambangkan bahwa anak yang dibaptis telah menjadi satu dengan Kristus melalui kematian-Nya.
3. Anak dibaptis berdasarkan iman orang tuanya. Selanjutnya orang tua bertanggung jawab mendidik anaknya hingga saatnya dia mengakui bahwa Yesus adalah Juruselamatnya (Sidi).
4. Kami harus hapal Pengakuan Iman Rasuli dalam Bahasa Batak! WOOOGHH!
 
Sebenarnya saya cukup hapal dengan Hata Haporseaon, namun mengingat situasinya nanti hanya kami berdua di depan altar yang harus mengucapkannya di depan seluruh jemaat, perut rada mules bok! Pada hari H, kami dapat mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli tersebut dalam Bahasa Batak dengan cukup lancar (tanpa teks loh!). Malahan sepertinya pendeta yang lebih khawatir kami grogi, jadi beliau banyak membisikkan clue-clue. Hahaha...
 
Puji Tuhan Sakramen Baptisan Kudus Nixon berjalan lancar, walaupun saat itu suami saya sedang demam dan Nixon juga sedang pilek + tumbuh gigi kelima dan keenam. Dia memang agak cranky tapi menurut saya cukup kooperatif dengan kondisinya yang sedang enggak prima.
 
Seusai acara Sakramen Baptisan Kudus di gereja, seperti keluarga Batak lainnya, kami pun mengadakan acara syukuran di sebuah restoran di Kelapa Gading. Acara syukuran tersebut dibarengi dengan acara adat "Pasahaton Ulos Parompa" oleh Ompung Bao (orang tua saya) dan Tulangnya Nixon (ito saya). Ulos Parompa sendiri adalah sebuah kain yang digunakan untuk menggendong bayi, namun saat ini Ulos Parompa adalah simbol kasih sayang Ompung Bao terhadap cucunya (saya juga enggak mau sih gendong Nixon pake ulos, kaku cyin!)
 
Jadi, urutan acara Syukuran Baptisan Nixon kemarin adalah sebagai berikut (dengan sahut menyahut antar protokol in between):
1. Kami beserta Dongan Tubu menyambut Hula-Hula dan Tulang (Tulang saya dan Tulang suami).
2. Ibu saya mangumpa/ memberi saya dan suami saya makan nasi dan ikan mas (again...)
3. Hula-Hula menyampaikan ikan mas kepada keluarga kami + ayah saya menuangkan beras (Sipir Ni Tondi) di atas kepala kami
4. Kami (Dongan Tubu) menyampaikan Tudu-Tudu Sipanganon kepada Hula-Hula
5. Makan siang bersama
6. Pasahaton Ulos Parompa
7. Pasahaton Piso-Piso
8. Pasahaton Hata Poda (aka mandok hataaa...)
9. Mangampu Hula-Hula dohot Tulang (alias ucapan terima kasih)
 
Acara syukuran berlangsung dari pukul 12.00 hingga 16.00. Walaupun acaranya relatif lebih pendek daripada acara adat Batak lainnya, tapi entah kenapa badan saya remuk redam. Suami makin demam, Nixon juga makin pilek *wannacry*. Mungkin faktor usia *hiks*, mungkin juga karena saya jaga malam semalam sebelumnya. Tapi saya bangga loh bisa menggunakan kebaya dari pagi hingga sore sambil tetap menyusui Nixon di sela-sela acara.Enggak gampang!
 
Yang pasti, kami bersyukur telah menyerahkan Nixon pada Tuhan melalui Baptisan Kudus. Tugas berat menanti di hadapan kami, yaitu mendidik Nixon menjadi anak yang takut akan Tuhan, sekaligus membimbingnya untuk mengenal Tuhan kami yang penuh kasih. Semoga anak kami mengalami indahnya kasih Tuhan dalam hidupnya, sama seperti yang kami alami. Selamat ya, Nak!
 
 
 
 
Bersama Ompung Bao/ Ompung Gading

Bersama Ompung Suhut/ Ompung Cimahi
Terima Kasih Amang Pdt. Elvis Marpaung S.Th